Memahami bencana dan tanda-tanda zaman

Jumat, 12 November 2010


          Dalam sebuah hadits riwayat Imam Daelamy, Rasulullah bersabda, "Allah memberi rahmat kepada orang yang memelihara ucapannya, memahami zamannya, dan tetap teguh pendiriannya."   Menurut hemat penulis, hadits ini amat menarik kita perbincangkan karena pemahaman akan zaman dikaitkan dengan keistikomahan.  Ada korelasi yang amat kuat antara memahami zaman dengan teguhnya seseorang dalam mempertahankan nilai-nilai dan prinsip-prinsip hidupnya, dan itu tercermin antara lain dalam ucapan-ucapannya. Dengan kata lain, orang yang istikomah adalah orang yang faham dalam zaman seperti apa dia hidup, sehingga ia tahu bagaimana harus bersikap, tidak larut dan tidak terbawa arus namun tetap setia pada keyakinan dirinya sebagai seorang muslim.


Banyak pakar menyatakan bahwa bangsa Indonesia sekarang ini sedang mengalami transformasi budaya dan nilai-nilai sosial yang demikian cepat. Sebagian mereka menyatakan bahwa perubahan itu terlihat pada makin kuatnya pandangan hidup yang serba materialistik. Semua serba materi dan serba uang. Dalam pandangan hidup yang seperti itu orang cenderung menjadi lebih individualistik, ditandai dengan kian menonjolnya nilai-nilai 'keakuan'  dan semakin memudarnya nilai-nilai 'kekitaan', nilai-nilai kegotongroyongan, kesetia kawanan sosial dan semangat berkorban makin hilang dalam khazanah pergaulan. Materialisme melahirkan  sikap individualistik, lalu berkembanglah kemudian budaya manipulatif (main tipu) dan fragmentatif (sikap menghargai orang lain bukan atas dasar kemanusiaannya, melainkan karena alasan jabatan atau kekayaannya). Tingginya angka korupsi di negeri kita boleh jadi merupakan isyarat makin menguatnya budaya manipulasi dalam banyak segi kehidupan.
          Bagaimana kita bersikap menghadapi demikian banyak musibah dan bencana yang menimpa negeri ini? Pertama, marilah kita renungkan firman Allah dalam surat Ar-Rum : 41 (QS 30 : 41), "telah nampak kerusakan di darat dan di lautan karena perbuatan tangan-tangan manusia agar Dia (Allah) menimpakan kepada mereka sebagian akibat dari perbuatan mereka itu supaya (nantinya) mereka kembali (kepada kebenaran)."  Dalam tafsir Al-Qasimy disebutkan bahwa yang dimaksud dengan fasad merujuk pada kerusakan yang diakibatkan oleh ma'shiyat dan dosa-dosa manusia. Rusaknya lingkungan, terjadinya tindakan pembalakan liar yang menghancurkan sumber-sumber daya alam, eksplorasi bahan-bahan tambang yang semena-mena dan berorientasi hanya pada  mendapatkan untung dalam waktu singkat, merupakan bentuk-bentuk fasad yang terjadi.  Dari tindakan fasad inilah musibah banyak terjadi, seperti longsor di banyak tempat, berkurangnya debit air di sungai-sungai, bahkan sampai terjadinya global warming dan perubahan iklim yang mengancam masa depan kehidupan umat manusia. Dalam konteks inilah Allah mengingatkan, "Kebaikan apapun yang kamu dapatkan adalah dari sisi Allah, dan keburukan apapun yang menimpamu, itu dari kesalahan dirimu sendiri," (QS An-Nisa [4] : 79). Kebaikan yang manusia peroleh, sesungguhnya berasal dari Allah. Sementara keburukan yang menimpa mereka datang dari diri mereka sendiri, karena Allah sama sekali tidak pernah berbuat jahat atau zalim kepada umat-Nya.
          Jadi ketika kita dihadapkan kepada berbagai macam musibah, bukankah seharusnya kita bertanya pada diri kita masing-masing : mungkinkah semua ini merupakan akibat dari fasad yang kita lakukan;  mungkinkah semua ini merupakan ujian dan cobaan atau mungkin tegoran yang datang dari Allah karena kelalaian, kebodohan, kekurangajaran dan dosa-dosa yang kita perbuat ?
          Untuk bahan renungan kedua, simaklah hadits sohih yang diriwayatkan oleh Ibn Majah, Baihaqy dan Bazzar dari sahabat Ibn Umar di mana Rasulullah bersabda, "wahai orang-orang Muhajirin, ada lima perkara yang jika kalian dicoba dengannya dan menimpa kalian, aku berlindung diri kepada Allah agar hal itu tidak menimpa kalian, yaitu :   1. Tidaklah suatu kaum melakukan perbuatan zina secara terang-terangan sampai terse bar luas melainkan mereka akan ditimpa berbagai macam penyakit yang tidak ada pada bangsa bangsa sebelum mereka,
2. Tidaklah mereka mengurangi takaran dan timbangan melainkan mereka akan disiksa dengan kemiskinan, mahalnya harga barang-barang (biaya hidup), dan buruknya para penguasa, 3. Tidaklah mereka menahan zakat harta mereka melainkan akan ditahan bagi mereka air hujan, jika bukan karena adanya binatang, tidaklah mereka akan diberi hujan, 4. Tidaklah mereka mengingkari janji Allah dan Rasul-Nya melainkan mereka akan dikuasai oleh musuh-musuh mereka yang akan mengambil apa yang ada di tangan mereka,  5. Tidaklah para pemimpin mereka memutuskan sesuatu bukan berdasarkan Kitab Allah (Al-Qur'an) melainkan akan dijadikan perpecahan dan pertengkaran di antara mereka."
          Berdasarkan hadits ini kita melakukan evaluasi terhadap situasi zaman yang sekarang sedang kita hadapi. Bukankah perzinahan di negeri kita sudah demikian merebak. Bahkan hal-hal yang dekat dengan itu : perjudian, pemabukan, pergaulan bebas dan sikap hidup hedonistik sudah demikian berkembang? Munculnya penyakit-penyakit baru : HIV-AIDS dan flu burung misalnya, menjadi tanda kian amburadulnya sistem nilai dan norma-norma yang ada. Demikian pula dengan tindakan mengurangi takaran dan timbangan yang menjadi pemicu meningkatnya angka kemiskinan, mahalnya biaya hidup dan munculnya para pemimpin buruk. Tindakan korup yang banyak terjadi di negeri ini merupakan tindakan mengurangi takaran dan timbangan sehingga dana-dana publik dikurangi dari yang seharusnya mereka terima. Kian mengguritanya money politics dalam semua kegiatan pemilukada, dalam banyak hal, menjadikan siapapun yang terpilih menjadi gubernur, bupati dan walikota, akan selalu terpenjara oleh banyak kepentingan, termasuk untuk membayar utang-utang kepada para investor, dan inilah salah satu sebab mengapa banyak kepala daerah bertindak korup. Dalam sistem yang demikian akan terjadi tindakan abuse of power yang mendorong pejabat publik dan partai-partai pendukung terjebak dalam tindakan menghalalkan segala macam cara. Bukti-bukti yang ada menunjukkan betapa banyak gubernur, bupati dan walikota yang  membuat kebijakan dan program yang mengatasnamakan rakyat tetapi sesungguhnya yang diperjuangkan adalah kepentingan partai atau kelompoknya. Dan ini dilakukan demi mengamankan posisinya, atau sebagai wujud balas jasa, atau malah untuk menyiapkan modal sosial pencalonannya kembali.
          Kondisi yang demikian diperparah dengan lemahnya ikatan-ikatan  kebangsaan di mana ikatan primordial terhadap kelompok kepentingannya jauh lebih kuat dan lebih mengakar, hal itu bisa dilacak misalnya pada lahirnya beberapa undang-undang yang disahkan DPR yang diperkirakan memiliki banyak muatan asing. Ideologi yang ada adalah idiologi perut dan uang. Inilah yang kemudian menyebabkan sebagian bangsa ini tak mau menerima ketentuan-ketentuan syariah yang sesungguhnya sangat sejalan dengan semangat melindungi segenap tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan  mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai amanah pembukaan UUD 1945 yang menjadi tujuan negara.  Penolakan akan syariah hanya akan menyebabkan bangsa kita dikuasai asing yang akan mengambil apa saja yang kita miliki. Barang tambang, hasil hutan, minyak bumi, lembaga-lembaga keuangan dan sumber-sumber ekonomi yang seharusnya bisa mensejahterakan bangsa ini ternyata lebih banyak dinikmati orang lain. Negeri kita menjadi tergadaikan hanya untuk kepentingan beberapa kelompok  yang tidak berfikir kecuali bagaimana melanggengkan kekuasaan dan kepentingan mereka. Dan akhirnya kita masih terjajah dan belum menjadi tuan di rumah kita sendiri.
          Banyaknya musibah dan bencana yang menimpa negeri kita seharusnya makin menyadarkan kita bahwa ada sesuatu yang salah dalam sikap dan pandangan hidup kita yang mengakibatkan negeri ini menjadi salah urus. Kita harus kembali ke jati diri bangsa kita sebagai bangsa yang beragama. Bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa, dan karenanya bisa berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang bisa menjaga persatuan Indonesia guna melaksanakan amanat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sudah saatnya kita melakukan evaluasi total dan menyeluruh terhadap semua segi kehidupan bangsa kita agar kita kembali menjadi bangsa yang bermartabat. Musibah yang banyak menimpa kita selama ini adalah pintu masuk menuju kesadaran diri yang lebih intens.
          Wallahu a'lam 
         
         
                  

          
                   
     
           

2 komentar:

Abiyasha mengatakan...

terima kasih pak, pencerahannya sangat bermanfaat

Yan Hasanudin Malik mengatakan...

terima kasih sdh mampir. Saya cuma mencoba menerjemahkan pesan Al-Qur'an dan hadits Nabi. Mdh2an bisa bermanfaat buat siapapun

Posting Komentar

 
 
 

lihat iklan, dapat duit !

 
Copyright © Sukses Dunia-Akhirat | Using Amoebaneo Theme | Bloggerized by Themescook | Redesign by Kang eNeS
Home | TOP