Khutbah Idhul Adha

Minggu, 14 November 2010


MENGGAPAI RIDHA ALLAH DENGAN BERKORBAN

Mukadimah
       Segala puji hanyalah bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan keselamatan melalui Islam sebagai ajaran dan sistem hidup yang kita yakini kebenarannya, yang kita merasakan kebahagiaan dengan menganut dan mengamalkannya serta memiliki harapan besar agar di akhirat kelak kita semua menjadi manusia-manusia yang beruntung yang akan mendapatkan rahmat dan keridhoan-Nya.





       Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpah kepada Rasulullah, rasul terakhir yang demikian besar kecintaannya kepada kita semua agar kita mengikuti jalan yang telah ditempuhnya, mengamalkan sunnahnya, mencontoh prilaku dan keteladannya serta menjadikan beliau sebagai satu-satunya standar nilai bagi kita untuk menetapkan dan memisahkan yang benar dari yang salah, yang haq dari yang bathil. Hanya dengan mengikutinya kita akan mendapatkan keridhoan Ilahy, dan hanya dengan tetap setia kepada sunnahnyalah kita akan berbahagia di dunia dan di akhirat kelak.
       Alhamdulillah, pada pagi hari ini, kita semua masih diberi kesehatan dan kesempatan oleh Allah untuk melaksanakan dan merayakan Idhul-qurban. Hari yang sangat istimewa karena bersamaan dengan kegiatan yang sekarang ini dilaksanakan, saudara-saudara kita yang sedang
melaksanakan ibadah hajji mulai keluar dari tenda-tenda mereka untuk melempar jumroh, menegaskan sikap mereka untuk tidak berkompromi dengan syetan, dengan berbagai macam sistem hidup yang akan menjauhkan  dari Allah. Kita do'akan, semoga jemaah hajji bisa memperoleh derajat hajji mabrur, dan pulang kembali ke Indonesia untuk kemudian menjadi pejuang-pejuang Allah. Pada kesempatan yang baik ini pula, kita do'akan agar saudara-saudara kita yang sedang terkena musibah gunung Merapi, tsunami di Mentawai dan di tempat-tempat lain di mana saja mereka berada diberi kesabaran. Semoga musibah itu makin mendekatkan diri mereka kepada Allah. Karena hanya dengan kembali kepada-Nya saja kita semua akan mendapatkan ketenangan dan kekuatan lahir bathin.  
Masyarakat Medinah sebagai masyarakat terbaik 
       Masyarakat Medinah di bawah bimbingan Rasulullah SAW merupakan masyarakat terbaik dalam seluruh sejarah kehidupan umat manusia. Disebut terbaik karena di sana tidak ada yang kelaparan karena tidak punya makanan; tidak ada yang telanjang karena tidak punya pakaian;
tidak ada orang miskin yang terlantar, tak ada orang yang merasa takut dizalimi; tak ada kesewenang-wenangan di mana hukum hanya berlaku bagi manusia kecil tapi tak berlaku bagi orang berduit seperti yang sekarang banyak terjadi di negeri kita tercinta ini. Setiap orang menempatkan dirinya sebagai saudara bagi yang lainnya. Berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing. Semua bersikap saling mencintai, menyantuni dan menghormati, seperti dijelaskan dalam sebuah hadits riwayat imam Muslim . . .   
       "Engkau melihat orang-orang mukmin dalam hal saling menyayangi, menyantuni,
         mencintai seperti sebuah tubuh. Jika ada satu bagian dari tubuh itu sakit, maka
         bagian tubuh lainnya ikut merasakan sakit dengan mengalami demam dan sulit
                tidur."

        Ma’asyrirol muslimin, rahimakumullah...
       Demikian indahnya kehidupan Medinah. Setiap orang menempatkan dirinya sebagai saudara bagi yang lainnya. Kebahagiaan dan penderitaan yang dialami seseorang adalah juga kebahagiaan dan penderitaan saudaranya, sehingga Abu Hurairah memberikan gambaran "lahmuka lahmii, dammuka dammii" , darahmu adalah darahku, deritamu adalah deritaku, kehormatanmu adalah juga kehormatanku. Model kehidupan inilah yang dijelaskan Rasulullah
Kaljasadil waahid  "seperti sebuah tubuh",  kalbunyaani yasyuddu ba’duhu ba’dhan  “seperti sebuah bangunan yang saling menguatkan”.
       Kehidupan Medinah terwujud karena sikap para sahabat terhadap Al-Qur'an dan kesetiaan serta ketaatan mereka kepada Nabi. Sikap mereka terhadap Al-Qur'an digambarkan dalam ucapan Muadz bin Jabal, "jika kami mempelajari 10 ayat Al-Qur'an, kami tidak menambahkan nya dengan ayat-ayat lain, sehingga yang 10 ayat itu kami fahami baik dari segi ilmunya maupun dari segi pengamalannya."  Mereka mempelajari Al-Qur'an bukan sekedar dibaca, direnungkan atau ditalar melainkan diamalkannya. Karena sikap mereka yang demikian Al-Qur'an telah menjelma menjadi kenyataan sehingga generasi Medinah sering disebut Generasi Qur'ani. Generasi Qur'ani di bawah bimbingan Nabi inilah yang memancarkan cahayanya ke seluruh dunia. Menjadi masyarakat terbaik sepanjang zaman.
       Salah satu ciri dari masyarakat ini adalah kesediaan mereka untuk berkorban dengan harta, jiwa dan tenaga untuk meraih ridha Allah.  Para sahabat adalah orang-orang yang selalu berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan. Mereka ingin membuktikan bahwa derajat kecintaan mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya jauh lebih besar ketimbang kecintaan mereka kepada yang lain.
Berkorban sebagai bagian dari keimanan
       Dalam banyak ayat Al-Qur'an, iman adalah perwujudan dari sikap sami’naa wa atha’naa "kami mendengar dan kami taat", yakni sebuah sikap yang terbentuk oleh keinginan membuktikan apa yang mereka yakini melalui ucapan dan perbuatan. Ketika mereka mendengar firman Allah

 "Kalian tidaklah akan memperoleh kebajikan sebelum kalian menginfakkan
   sebagian harta yang kalian cintai. Dan apa saja yang kalian infakkan, tentang itu
              sungguh Allah Maha Mengetahui."  (QS Ali Imran [3] : 92)

Maka sikap mereka adalah bersegera mengorbankan harta mereka untuk mendapatkan keberkahan dari Allah. Ini semua bisa kita baca dalam kisah-kisah Abu Bakar Siddiq, Umar ibn Khtattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Abdurrahman ibn Auf dan yang lainnya. Mereka menyadari bahwa pengakuan iman tanpa pengorbanan hanyalah kepura-puraan. Mereka juga menyadari bahwa jalan menuju keridhoan Allah dan sorga-Nya adalah jalan penuh pendakian, dan semua itu terkait dengan kesadaran untuk berkorban. Perhatikanlah firman Allah dalam surat Al-Balad (QS 90 : 11-16)  :
               "Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki dan sukar. Dan tahukah engkau
                apakah jalan mendaki dan sukar itu? (yaitu) membebaskan hamba sahaya, atau
                memberi makan pada musim paceklik (kelaparan), kepada anak yatim yang ada
                hubungan kerabat, atau orang miskin yang amat fakir."
 
              Ma’asyiraol muslimin, rahimakumullah...
       Jalan menuju sorga adalah jalan yang harus kita lewati dengan melakukan berbagai tindak pengorbanan. Dan dalam konteks masa kini, membebaskan perbudakan adalah membebaskan masyarakat kita dari berbagai macam belenggu, seperti belenggu kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, adat-istiadat yang menyesatkan, perpecahan dan permusuhan. Belenggu kemiskinan telah sering menyebabkan manusia berprilaku buruk, bahkan berbuat kufur dan syirik. Mengorbankan sebagian rezeki yang kita dapatkan untuk membantu mereka yang kekurangan, memperhatikan nasib mereka, menciptakan rasa aman dan terlindungi karena kita memperlakukan mereka sebagai saudara, membantu anak-anak yatim untuk dapat mengenyam pendidikan agar mereka nantinya menjadi orang-orang yang berilmu adalah amalan-amalan yang akan menghantarkan kita mendapatkan surga-Nya.
Berkorban sebagai tindak lanjut dari shalat 
       Ajaran Islam yang lengkap sempurna dan mengatur semua segi dan bidang kehidupan umat manusia bisa kita bagi menjadi tiga bagian besar, yaitu hablun min al Allah, hablun min al nas dan hablun min al 'alam. Hablun min al Allah adalah hubungan yang bersifat penghambaan. Allah sebagai Khalik atau Rab, dan manusia sebagai makhluk. Seorang muslim adalah orang yang hubungan dirinya dengan Allah baik, dan dari hubungan yang baik ini, lahirlah kemudian hubungan yang baik pula dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Kita bisa melihat, misalnya shalat : diawali dengan takbiratul-ihram (melambangkan hubungan manusia dengan Allah) dan diakhiri dengan salam, menengok ke kanan dan ke kiri (melambangkan hubungan manusia dengan sesamanya dan lingkungannya).
       Dengan demikian shalat mengajarkan kepada kita berfikir tiga dimensi, yaitu berfikir vertikal, ingat Allah dalam semua keadaan dan waktu;  berfikir longitudinal atau historis, melakukan introspeksi diri di setiap waktu,  selalu bermuhasabah  agar menjadi lebih baik di kemudian hari, dan berfikir lateral atau sosial, menengok kanan-kiri guna menciptakan hubungan yang baik dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya. Sebagai gambaran bisa kita perhatikan surat Al-Ma'un (QS 107) :
"Tahukah engkau orang yang mendustakan agama? Maka itulah dia orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makanan bagi orang miskin, maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan memberikan bantuan."

       Allahu akbar, Allahu Akbar, laa ilaaha illa Allah, wallahu akbar...

       Perhatikanlah ayat-ayat di atas.  Orang yang shalat dinilai celaka jika shalatnya tidak melahirkan kesadaran sosial. Tidak menumbuhkan keinginan dan tindakan untuk memberikan sebagian hartanya dalam upaya menolong orang-orang miskin dan anak-anak yatim karena yang demikian berarti ia telah melupakan maksud dan hikmah dari perbuatan shalatnya. Bahkan lebih jauh, orang-orang yang suka menahan apa yang jadi kebutuhan pokok (needs) masyarakat, atau menimbunnya untuk kemudian menjualnya dengan harga tinggi, meskipun ia suka shalat, shalatnya tetap tak akan diterima Allah.
       Karena itulah, dalam surat Al-Kautsar (QS 108),  Allah berfirman.....
 “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang amat banyak. Karena   itu  shalat engkau demi Tuhanmu, dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang yang membencimu   dialah orang yang terputus.”

           Shalat dan berkurban merupakan satu kesatuan. Orang yang mendirikan shalat dan menyadari nilai-nilai yang ada di dalamnya, dipastikan mau berkorban. Sementara orang yang mendirikan shalat tetapi kikir, tak peduli kepada orang lain, selalu bersikap mementingkan dirinya sendiri, sesungguhnya ia belum mendirikan shalat. Karena itulah dalam banyak ayat Al Qur’an, shalat selalu dikaitkan dengan zakat.
       Apakah sesungguhnya “kurban”  itu. Istilah kurban yang berakar kata qaraba, yaqrubu, qurbanan bermakna dekat. Berkurban berarti berupaya mendekatkan diri kita kepada Allah dengan melakukan berbagai macam tindak ibadah. Dalam konteks  Idhul-adha yang bermakna
Hari raya binatang kurban sesungguhnya menegaskan bahwa upaya kita untuk terus mendekatkan diri kepada Allah itu bisa kita lakukan antara lain dengan menyembelih hewan kurban. Dengan mengeluarkan harta yang kita cintai yang kadang kita merasa berat melakukan nya itu, kita akan mendapatkan berkah dan rahmat Allah.
Ismail sebagai simbol segala bentuk kecintaan kita
       Syariah Qurban ini merupakan peninggalan millah Ibrahim yang oleh Allah kemudian ditetapkan bagi umat Nabi Muhammad SAW. Nabi Ibrahim AS adalah Nabi yang mendapat gelar Khalilullah atau kekasih Allah setelah beliau membuktikan dirinya sebagai orang yang jauh lebih mencintai Allah ketimbang puteranya sendiri. Derajat kecintaan beliau kepada Rab-nya menjadikan beliau seorang pribadi yang mau mengorbankan segala hal yang dicintainya untuk mendapatkan cinta Allah.
       Dalam kehidupan sekarang, orang cenderung bersikap materialistik, mengukur segala sesuatu dengan ukuran materi atau uang. Sikap materailistik inilah yang kemudian melahirkan sikap individualistik atau mementingkan diri sendiri. Orang mau melakukan apa saja untuk mendapatkan uang; orang tak lagi peduli terhadap batasan halal dan haram bahkan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, orang cenderung menghalalkan segala cara. Sikap individualistik inilah yang kemudian melahirkan budaya manipulasi atau budaya main tipu yang seterusnya melahirkan budaya korupsi. Sungguh kita harus merasa malu, jika negeri kita dinilai sebagai negeri terkorup di asia pasifik. Sebagian orang malah menyebtkan negeri kita sebagai salah satu dari 60 negara yang dinilai gagal. Kemiskinan terus bertambah, lingkungan alam mengalami perusakan terus-menerus, kehidupan sosial mengalami distorsi di mana orang demikian mudah bermusuhan, nilai-nilai kehidupan mengalami perubahan sehingga etika dan moralitas menjadi tidak diindahkan, mengguritanya money politics dalam semua kegiatan pemilihan sehingga orang cenderung memilih bukan atas dasar moralitas, kapabilitas dan integritasnya melainkan hanya berdasarkan uang yang akan didapatkan, penegakan hukum yang berat sebelah dan hanya berlaku bagi orang-orang kecil serta makin hilangnya budaya malu dalam khazanah peraulan kita. Janganlah heran jika dalam situasi kehidupan yang seperti ini akan muncullah para preman yang memegang jabatan yang hanya akan berfikir bagaimana mengembalikan uang yang sudah mereka keluarkan. Hanya berfikir bagaimana kekuasaan dan jabatan itu dapat digunakan untuk mempertahankan kepentingan-kepentingannya. Maka kemudian Allah mengingatkan kita dengan terjadinya banyak musibah.
       Dalam hal ini, bagi kita Ismail merupakan simbol dari semua hal yanhg kita cintai. Ismail adalah simbol dari anak dan isteri yang kita cintai yang sering menjadikan kita lupa terhadap Allah. Ismail adalah harta kita yang terkadang menjadikan kita kikir dan tak mau peduli dengan nasib orang lain. Ismail adalah jabatan yang sering menjadikan kita lupa bahwa ia amanah yang akan kita pertanggungjawabkan nanti di akhirat. Ismail adalah segala sesuatu yang amat kita cintai dan kita dambakan sehingga fokus hidup kita hanyalah untuk mendapatkannya. Ismail-ismail inilah yang harus kita sembelih dan kita korbankan untuk mendapatkan keridhoan Allah.
Seorang muslim adalah orang yang tak akan terjebak, menjadikan dunia ini sebagai tujuan sehingga lupa bahwa hidup di dunia ini tak akan lama. Seterusnya kita semua akan kembali kepada-Nya. Untuk lebih jelas, marilah kita perhatikan firman Allah yang lain dalam surat At-Taubah [9] : 24 ...
 “Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan    yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”

       Ayat ini sesungguhnya amat mengerikan karena Allah mengancam kita, jika hal-hal yang amat kita cintai menyebabkan kita lupa kepada-Nya, tak mau mentaati-Nya, tak mau mengikuti Sunnah Nabi-Nya, bahkan memusuhi semua tindakan dan upaya jihad yang seharusnya kita lakukan, kita akan dinilai sebagai orang-orang fasik yang pantas mendapatkan siksa-Nya.
       Ma’asyirol muslimin, rahimakumullah
       Karena itulah, tindakan menyembelih binatang kurban hakikatnya adalah menyembelih berbagai macam penyakit yang ada dalam jiwa dan hati kita. Menyingkirkan penyakit kikir, sikap-sikap egoistik, individualistik dan hedonistik. Melatih diri untuk senantiasa berbagi dengan orang lain, membantu saudara-saudara kita yang kekurangan, menumbuhkan semangat kebersamaan serta kesadaran untuk menjadikan harta yang kita miliki sebagai jalan mendapatkan kerdhoan Allah. Hanya dengan cara-cara itulah hidup kita akan menjadi lebih bermakna.
       Allahu akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illa Allah, wa Allahu Akbar
       Allahu akbar wa lillahi al hamdu    

Sukabumi,   6 Dzulhijjah 1431  H
                  13 Npember 2010  M

    
 H. Yan Hasanudin Malik, SPdI, MM 

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 

lihat iklan, dapat duit !

 
Copyright © Sukses Dunia-Akhirat | Using Amoebaneo Theme | Bloggerized by Themescook | Redesign by Kang eNeS
Home | TOP