Hari Kebangkitan Nasional mestinya tanggal 16 Oktober !

Kamis, 20 Mei 2010

Tak mudah merubah sesuatu yang sudah mendarah daging dalam benak dan ingatan masyarakat akan sesuatu, apalagi jika sesuatu itu sudah biasa diperingati setiap tahun di negeriku tercinta ini. Sesuatu yang menggangguku itu adalah Hari Kebangkitan Nasional (harkitnas) yang biasa diperingati pada setiap tanggal 20 Mei. Beberapa pertanyaan bertalu-talu memukul jantungku. Benarkah Harkitnas itu seharusnya diperingati memang pada tiap 20 Mei; apakah ada alasan dan dasar pemikiran yang kuat unuk itu?

Jika mau jujur terhadap sejarah bangsa kita sendiri, tentulah pemilihan dan penetapan suatu
tanggal untuk suatu peringatan yang sifatnya menasional akan kita lakukan penuh kehati-
hatian dengan memperhatikan berbagai macam aspek, salah satunya adalah realitas sejarah yang telah berlangsung dalam panggung kehidupan bangsa kita. Meski harus diakui bangsa kita termasuk bangsa yang kurang peduli terhadap sejarah. Bahkan di lingkungan dunia pendidikan kita pelajaran yang tidak begitu disukai adalah Sejarah, Bahasa Indonesia dan Agama. Mungkin karena itulah bangsa kita selalu mudah tertipu dan diakali bangsa lain, dan kadang tidak bangga menjadi dirinya sendiri. Kebanggaan akan sejarah merupakan salah satu pembentuk identitas bangsa.
Menjadikan 20 Mei sebagai Harkitnas tidaklah tepat karena beberapa alasan, yaitu : pertama,
tanggal 20 mei (1908) merupakan hari kelahiran Boedi Oetomo (BU), sori pake ejaan lama, sebuah organisasi yang dari sejak awal pendiriannya ditujukan hanya untuk memperjuangkan kepentingan ningrat Jawa, bukan untuk rakyat negeri ini. Semangat yang dikembangkan di organisasi itu adalah semangat Kejawen yang ajarannya banyak yang bertentangan dengan Islam yang dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia. Karena itu pada Kongres BU di Bandung (1915), R. Sastrowardoyo yang terpilih menjadi ketua meminta kepada hadirin untuk berdiri dan berseru ramai-ramai : Leve pulau Jawa. Leve bangsa Jawa. Leve Boedi Oetomo (hidup pulau Jawa, hidup bangsa Jawa, hidup Budi Utomo). Bahkan usulan salah seorang ketua BU, Dr. Tjipto Mangunkusumo jauh sebelumnya (1909) di Jogjakarta agar BU menerima keanggotaan semua anak Hindia yang lahir, hidup dan mati di Hindia, tidak melulu ningrat Jawa semata, ditolak oleh Dr. Radjiman Wediodiningrat. Dan karena itu pula Tjipto Mangunkusumo dan Soewardi Soeryaningrat atau Ki Hajar Dewantara keluar dari keanggotaan karena menilai BU hanya merupakan gerakan elite bangsawan Jawa yang eksklusif.
Kedua, berdirinya BU tak lepas dari restu Belanda yang selalu berkepentingan menjauhkan
bangsa Indonesia dari semangat keislaman. Pada waktu itu, salah satu organisasi yang cukup
berpengaruh pada pembentukan semangat kebangsaan yang berdasarkan agama adalah Jamiat Khoer (JK). Sementara BU hanya mengajarkan Nasionalisme Jawa. Karena itu buletin yang dikeluarkan BU, Jowo Hisworo, sering menghina Rasulullah, menghina Islam. Beranggapan kejawaan lebih bernilai ketimbang Islam. Tentu saja hal ini amat membantu kolonial Belanda yang sadar bahwa Islam selalu ada dan pembangkit semangat gerakan perlawanan rakyat. Dan peran itu terbantu dengan hadirnya BU.
Ketiga, sampai berusia 20 tahun, tepatnya pada Kongres BU di Surakarta (6-9 April 1928), BU
memutuskan menolak pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia. Dan tetap bertahan pada sikapnya semula untuk tidak menerima suku lain menjadi anggota tetapi anehnya terbuka untuk golongan eropa dan etnis Cina. Sebagian penulis sejarah yang sadar diri malah menyebutkan bahwa kehadiran BU di panggung sejarah bangsa ini merupakan Kebangkitan Feodal Jawa.
Keempat, yang lebih meyakinkan untuk dijadikan Harkitnas adalah tanggal 16 Oktober, yaitu
lahirnya Syarikat Islam (1905), tiga tahun sebelum kelahiran BU. Nah, dalam rapat akbar di
alun-alun Bandung Juni (1916), dalam Kongres Pertama,  tokoh-tokoh Syarikat Islam ini :  Umar Said Cokroaminoto, Agus Salim, Abdul Muis dan Wignyadisastra, dengan tegas dan gagah berani menyatakan menuntut Pemerintah Sendiri atau Indonesia Merdeka !!
Nah, bandingkanlah dengan sikap BU yang sampai tahun 1928 masih menolak ide Persatuan
Indonesia. Inilah salah satu contoh upaya kaum penjajah melakukan deislamisasi atas sejarah
perjuangan bangsa Indonesia, dan tanpa sadar banyak pemimpin negeri terperangkap masuk ke dalamnya.
Aku bangga dan bahagia menjadi seorang muslim, karena keislamanku inilah, Indonesia adalah tumpah darahku, tanah airku, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah tempat
aku mengabdikan diri, melanjutkan perjuangan yang telah lama dilakukan oleh orang tua dan kakek-buyutku. Indonesia adalah amanah yang mereka titipkan di pundakku. Bangkitlah...!
            

5 komentar:

Alfisyahrin mengatakan...

Kalau saya sih, tidak terlalu mempermasalahkan tentang hari pak. Karena yang harus kita resapi itu spiritnya, lalu kita ejawantahkan dalam konteks kekinian. Tapi kalau dalam maksud pelurusan sejarah sih, saya rasa sah-sah saja. Asal disertai dengan metodologi yang tepat dan argumentasi yang kuat.

Yan Hasanudin Malik mengatakan...

terimakasih komentarnya... betul sekali yg ptg adlh spiritnya, substansinya, nah kita bisa ketemu
di lain topik, berdiskusi dan bertkr fikirn, insya Allah manfaat

eNeS mengatakan...

Baru tahu nih kalo BU kayak gitu. Wah, sejarah harus direvisi tuh, biar masyarakat tahu perjuangan BU sejak awal

Rina MD mengatakan...

Seperti sejarah RA Kartini dan R Dewi Sartika, siapa yang lebih berhak disebut sebagai pelopor emansipasi,dan lagi kaum wanita di ind yang dipingit bukanKAH HANYA orang jawa saja.suku bangsa lain ga masalah tuu.

Tatto Sutamto TS mengatakan...

Tulisan yg bagus dan perlu diapresiasi menjadi kajian sejarah bangsa.Coba dikembangkan dan disosialisasikan dalam media nasional,agar memperoleh pengkayaan data sejarah dari publik.

Posting Komentar

 
 
 

lihat iklan, dapat duit !

 
Copyright © Sukses Dunia-Akhirat | Using Amoebaneo Theme | Bloggerized by Themescook | Redesign by Kang eNeS
Home | TOP