R E F L E K S I

Selasa, 20 April 2010

Ya Allah, sering aku bertanya-tanya pada diriku, kemanakah negeri tercintaku ini akan menuju. Orang bijak bayar pajak, orang pajak (sebagian kecil lho) makan pajak. Korupsi telah menjadi bagian dari sistem yang ada. Sungguh aku tak setuju jika sebagian orang mengatakan, di Indonesia korupsi telah menjadi budaya, karena budaya sebenarnya dihasilkan dari cipta, karsa dan karya manusia. Mengatakan korupsi sebagai budaya bangsaku berarti menganggap semua orang sudah punya fikiran jahat untuk korup, berusaha menciptakan sistem di mana peluang untuk korup bisa dilakukan, dan kemudian membuktikannya dalam prilaku. Aku yakin benar, masih banyak orang-orang yang jujur dan bisa


bersikap amanah. Karena aku tetap memandang manusia sebagai makhluk yang bisa berubah menjadi lebih baik. Tetapi hasil survey luar negeri yang menyatakan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia Pasifik, dan termasuk salah satu dari 60 negara yang dianggap gagal, menyebabkan aku terus bertanya dan merenung : apa yang sekarang sedang terjadi dengan bangsaku ?
Di negeri-negeri Barat sudah lama berkembang faham kebenaran pragmatis, the pragmatical theory of truth. Apa yang dianggap benar adalah apa saja yang dianggap bermanfaat. Kumpul kebo alias hidup bersama tanpa ikatan pernikahan dianggap benar karena dirasakan manfaat. Orang boleh berpacaran di mana saja, saling peluk, saling cium di depan khalayak ya sah-sah saja, lagi-lagi karena dianggap bermanfaat, dan karenanya dianggap benar. Betapa rendahnya nilai sebuah 'kebenaran'. Kaum gay dan lesbi makin banyak. Mereka pun mulai menuntut adanya undang-undang yang membolehkan mereka berumah tangga persis seperti manusia normal. Dalilnya sederhana : inilah ekspresi kebebasan dan hak-hak asasi kami..!  Waktu pemilu presiden, kelompok ini diapresiasi oleh Obama, dan kemudian mereka pun memilihnya.
Teori kebenaran pragmatis ini sudah lama menyerbu negriku. Kemudian lahirlah budaya politik, sosial dan ekonomi pragmatisme (lagi-lagi, terpaksa kugunakan juga kata 'budaya') yang melahirkan prilaku pragmatis dan serba instan. Kalau ingin lulus seleksi PNS, pakailah uang pelicin, dijamin urusan jadi lancar. Kalau ingin mendapatkan jabatan atau posisi penting di pemerintahan, tentara, polisi, jaksa sampai organisasi olahraga dan partai-partai politik, gunakanlah jalur cepat : bagi-bagi uang. Ingin menang tender?  Siapkanlah dana tambahan untuk memberi hadiah  orang-orang yang punya wewenang memutuskan pemenangnya . Nah, jika seorang pemborong dapat proyek senilai 1 M dengan margin keuntungan 30%, ia sudah harus berhitung berapa biaya yang harus disiapkannya untuk jamuan makan dan transport supervisor, inspektorat dan tetek bengek lainnya, maka membengkaklah biayanya jadi 1,5 M. Merugilah dia. Akhirnya bestek pun dirubah. Hasilnya : bangunan yang diperkirakan tahan untuk 50 tahun, dalam waktu 5 tahun saja sudah ambruk. Dalam sistem seperti ini pemborong cenderung jadi pembohong, dan penguasa berubah peran jadi pengusaha.
Dalam dunia politik, prinsip ekonomi kapitalistik yahudistik seolah-olah mendapatkan justifikasi. Diperkirakan hampir semua anggota dewan terpilih melakukan money politics. Menjelang pemilu, mendadak para calon berubah jadi orang-orang saleh. Rajin bersilaturahim ke publik, mendatangi mesjid dan pengajian, menampilkan diri sebagai orang yang santun dan memahami penderitaan rakyat, seterusnya bagi-bagi uang dan sembako dengan permintaan 'pilihlah saya', lalu berjanji memberi ini-itu jika terpilih. Tak apa-apa berbohong karena toh politik itu tipu daya. Dan karena masyarakat kita sudah lama mengidap penyakit amnesia berat, maka jika  5 tahun sebelumnya mereka pernah ditipu, dengan mudahnya mereka lupa lagi ketika disodori uang. Demikian pula yang terjadi ketika pilkada gubernur, bupati dan walikota. Prinsip dengan modal kecil berusaha mendapatkan keuntungan maksimal, betul-betul diterapkan. Orang yang memberikan uang supaya dirinya dipilih, ia akan mengambil jauh lebih banyak dan lebih besar setelah jabatan itu ia raih, termasuk hak-hak masyarakat pemilihnya !  Dalam sistem seperti sekarang begitu mudahnya orang menghalalkan segala cara. Masyarakat pun merasa tenang-tenang saja, bahkan mereka berdalih, "kalau sudah jadi pejabat mana mungkin mereka mau kenal kita lagi. Mumpung mereka butuh dukungan, kita ambil saja duitnya !"  Sistem yang korup kadang lahir karena sikap masyarakat yang seperti itu. Integritas, kapabilitas, intelektualitas hingga moralitas sang calon terabaikan. Dan jadilah negeri kita negeri para preman di mana banyak kelompok muntaber (munafik tapi berhasil) pegang kendali.
Dunia pendidikan yang tadinya kuduga bersih dari unsur korup ternyata terjebak pada sikap yang sama. Jika jumlah siswa yang tak lulus banyak, artinya sama dengan mempermalukan kepala daerah. Ini tidak boleh terjadi. Maka tak sedikit kepala daerah menginstruksikan kepala dinas untuk sebisa-bisa berusaha meluluskan anak sekolah. Kepala dinas pun menginstruksikan hal yang sama kepada para kepala sekolah. Dan para sekolah pun berembuk dengan para guru bagaimana menyususun taktik dan strategi untuk bisa meluluskan para muridnya. UN telah menjadi 'tuhan' baru dimana semua kegiatan sekolah diarahkan ke sana. Terjadilah ketidakadilan. Mana sekolah yang benar-benar serius dalam membina anak didiknya dan mana yang asal-asalan, mana siswa yang rajin dan mana yang malas toh hasil akhirnya sama saja : lulus UN, tapi yang satu hasil kerja sendiri, yang lain mendapat bantuan para guru. Kondisi serupa terjadi juga di PT. Orang yang lulus pada seleksi awal lewat jalur khusus, keputusan diterima dan tidaknya ditentukan oleh besaran uang yang mereka berikan. Begitu pula dengan pemalsuan skripsi dan thesis orang lain dengan cara merubah sedikit di sana sini, kemudian diakui sebagai karya orisinilnya. Peluang untuk itu diberikan oleh banyak PT papan nama, yang penting punya gelar. Meskipun diperoleh dengan cara-cara yang tidak etis.  
Yang lebih menyedihkan adalah terjadinya abuse of power. Jika bupati, walikota, gubernur dan menteri terpilih berasal parpol tertentu. Maka disusunlah berbagai program dan kegiatan untuk meningkatkan kese jahteraan masyarakat. Bagus memang. Dicanangkanlah gerakan pemberdayaan dan perbaikan infrasruktur yang ada. Turunlah berbagai macam bantuan. Tapi lagi-lagi, yang mendapat bantuan untuk sekolah, petani, mesjid-mesjid, kelompok usaha masyarakat dan lain-lain, ternyata berasal dari kelompok partainya. Uang yang digunakan adalah uang rakyat. Tetapi kemudian dimanfaatkan untuk membesarkan partainya, memperluas jaringan pendukungnya, bahkan untuk kepentingan kolega dan kawan-kawan seperjuangannya. Nama rakyat telah dicatut dan dikorbankan demi ambisi partainya. Maka tak usah heran jika kemudian muncullah yayasan yayasan, LSM, dan kelompok usaha dadakan, tujuannya jelas, bagaimana memanfaatkan jabatan kader untuk pemenangan partainya. Jangan heran kalau turunnya bantuan itu terjadi menjelang pemilu. Bahkan di lingkungan masyarakat bawah, tanpa rasa malu diumumkan bahwa bantuan itu dari partainya. Sekali lagi, politik adalah tipu daya. Melakukan kebohongan publik kan merupakan taktik. Enjoy aja...
Aku semakin sedih menyaksikan masyarakat miskin terus saja bertambah. Memang benar, kalau ukuran miskin itu orang yang berpendapatan 1$ per hari, yang miskin di negeriku hanya sekitar 17% saja, tetapi kalau standarnya adalah 2$ per hari seperti yang dikeluarkan badan-badan PBB, yang miskin menjadi bertambah mencapai hampir 50%. Kemiskinan yang terjadi bukanlah karena sikap mental seperti malas dan tidak suka bekerja keras (karena amat banyak penduduk yang rajin bekerja), melainkan kemiskinan struktural. Kemiskinan merupakan akibat dari sistem ekonomi yang tidak adil. Salah satu penyebabnya adalah korupsi yang terjadi hampir di setiap lapangan. Potensi pendapatan negara dari pajak saja bisa mencapai 2000 T, dan itu cukup untuk membebaskan masyarakat miskin dari beban biaya pendidikan dan pelayanan kesehatan serta membuka lapangan kerja yang merata di seluruh wilayah Indonesia. 
Jika salah seorang wartawan senior, Mochtar Lubis, dalam pidatonya di TIM pada 33 tahun yang lalu, menyatakan bahwa di antara penyakit bangsa Indonesia yang kronis adalah hipokrit, mental menerabas (ingin cepat sukses dengan cara-cara yang tak etis), malas, berjiwa feodal, dan kurang menghargai waktu, sudahkan sekarang ini kita berubah. Ataukah ciri-ciri itu masih tetap melekat dalam sikap hidup kita? Cukup lama aku merenung. Aku rindu tegaknya syari'ah di negeri yang amat kucintai ini. Aku rindu pemimpin yang amanah.
Bagaimana kita harus bersikap? Pertama-tama kita harus tetap optimis bahwa ke depan negeri  ini bisa berubah menjadi lebih baik. Sikap optimis akan mendorong kita mau melakukan berbagai macam perubahan. Seperti apapun jeleknya Indonesia, ia adalah negeri kita, merdeka karena perjuangan orang tua- nenek-kakek-opa-oma kita. Kecintaan akan negeri ini bisa jadi merupakan wujud penghormatan akan usaha yang telah mereka lakukan. Kedua, kita jangan bersikap menyalahkan siapapun, menggerutu sambil mengeluarkan sumpah serapah, tetapi mulailah perubahan itu kita mulai dari diri kita masing-masing. Jadilah orang yang punya integritas, memelihara sikap jujur, dan punya keinginan kuat meningkatkan kualitas diri. Tidak terbawa arus pragmatisme. Karena kita meyakini bahwa keberkahan Allah akan datang sebagai anugerah atas usaha kita memelihara integritas itu. Berat memang. Tapi itulah makna hidup : berjuang menegakkan nilai-nilai kebenaran !
                 

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 

lihat iklan, dapat duit !

 
Copyright © Sukses Dunia-Akhirat | Using Amoebaneo Theme | Bloggerized by Themescook | Redesign by Kang eNeS
Home | TOP