Ada pertanyaan besar yang pasti menggelayut dalam fikiran tiap insan Indonesia, kapan tim Indonesia bisa berlaga di Piala Dunia, sementara negara-negara yang perekonomiannya jauh di bawah kita seperti Kamerun, Ghana, Nigeria atau Pantai Gading kok bisa ya..Kalau negara negara Arab yang mengenal sepakbolanya saja baru pada tahun 80an kemudian maju pesat, ya wajar saja karena mereka kaya raya, pemerintahnya pun betul-betul
terjun menyediakan infra struktur dan dana yang amat besar, dan mendatangkan pelatih yang
mumpuni, tapi Afrika ? ya Allah, sesungguhnya kita lebih kaya, lebih maju dan lebih lama mengenal sepakbola.
Seorang teman berseloroh, negara kita tak bisa tampil di pentas dunia karena sampai sekarang belum ada pejabat FIFA yang bisa disuap. Selorohan yang meski terasa pahit tapi cukup membuatku merenung : apa hubungannya suap dengan prestasi sepakbola? aya-aya wae... Tapi nanti dulu. Mungkin ini benar. Coba kita lihat negara-negara Eropa. Nah, di negara-negara yang sistem sosialnya sudah benar-benar mapan, ternyata sepak bolanya rata-rata maju. Sistem sosial yang dimaksud terlihat misalnya pada penghormatan masyarakat akan barang-barang milik publik : kereta api, bus kota, telepon umum, WC umum, atau gedung-gedung yang memang berkaitan dengan kegiatan publik atau digunakan untuk mengurus kepentingan publik, seperti sekolah, rumah sakit, perpustakaan, atau gedung-gedung pemerintahan. Semua itu dijaga sebagai milik bersama. Bagaimana dengan kita?
Rasanya dari sekian banyak telepon umum, hanya satu dua saja yang bisa digunakan. Selebihnya rusak berat. Kereta Api punya nasib yang sama, selain penuh coretan dari para penumpang yang hobi unjuk kreativitas, sebagian isinya hilang entah kemana. Bagaimana dengan WC Umum, wah wah selain tak terurus, baunya menyebar kemana-mana.
Lho, jelek-jelek juga kan negeri sendiri, right or wrong is my country. Betul, betul, betul, karena
cinta pada tanah air itulah kita perlu banyak belajar dari negeri lain. Supaya yang baik-baiknya bisa kita tiru.. Lihatlah taman kota yang ada di sana, orang berkumpul selain mau menikmati keasriannya, juga bisa sambil memberi makan burung-burung merpati, belibis atau angsa liar. Kalau di kita, dijamin burungnya habis ditembaki lalu tamannya berubah fungsi menjadi tempat pembuangan sampah atau dipakai tempat kongkow dan pacaran.
Ketertiban sosial yang menjadi dasar kemapanan sistem sosial sebenarnya merupakan akibat
dari sikap menghormati hukum sebagai perangkat memelihara ketertiban sosial itu. Kalau orang bermobil, jarang ia membunyikan klakson kalau tidak perlu-perlu amat. Pas lampu merah menyala, orang menghentikan mobilnya dan memberi kesempatan kepada penyeberang jalan untuk lewat.
Demikian pula ketertiban dalam hal buang sampah, antrian beli karcis, dan seterusnya, dan lain
sebagainya, semua berjalan dengan baik karena kesadaran warga untuk selalu bersikap
mendahulukan kepentingan sosial dibandingkan kepentingan pribadinya. Ini semua mengisyaratkan bahwa semangat kolektivitas lebih diprioritaskan ketimbang semangat keakuan. Lalu apa hubungannya dengan sepak bola ?
Sesungguhnya sepak bola mencerminkan budaya masyarakatnya. Bagi masyarakat yang ketaatan terhadap hukumnya rendah, arena sepakbola bisa jadi tempat penentangan terhadap wasit, prinsipnya "bola boleh lewat, tapi kaki tidak !" toh kalau dihukum wasit, lalu dilawan, wasitnya sendiri yang malah ketakutan. Jangan heran kalu kemudian pertandingan sepak bola berubah jadi sepak takraw, gabungan permainan tinju dan taekwondo, sesekali malah jadi sirkus, lalu diramaikan dengan aksi penonton lempar-lempar botol. Kalau kesebelasan yang didukungnya kalah bisa jadi pemicu kerusuhan. Keluar dari stadion kemudian merusak ini itu. Inikah mentalitas bangsa kita ? Menonton sepakbola bisa jadi semacam katarsis dari kesumpekan hidup sehari-hari. Bisa teriak, mencaci maki, mengeluarkan unek-unek dan
sumpah serapah. Dan ketika penonton bergerombol, mereka merasa kuat dan karena itu tak takut berbuat anarkis.
Penentuan Ketua Umum PSSI jelas amat jauh dari semangat profesionalisme, malah mungkin bisa masuk Guiness of record karena di dunia kitalah satu-satunya negara yang ketum sepakbolanya bisa mimpin dari balik penjara. Jalinan kepentingan yang ada dari mulai pengda sampai pusat lebih kuat dari semangat memajukan sepak bola nasional. Ada perputaran uang yang lumayan besar yang bisa dibagi-bagi. Ada kepentingan memasukkan orang dekat untuk jadi pemain meskipun tak layak. Ada konspirasi ketika seorang pelatih ditunjuk atau siapa ditempatkan di mana, dan dalam posisi apa. Dunia sepakbola kita persis seperti dunia politik kita : korup, licik, tak profesional, menjunjung tinggi semangat sektarian sampai akhirnya
kepentingan nasional jadi sekedar basa-basi, karena sesungguhnya yang diperjuangkan hanyalah kepentingan pribadi atau kelompok.
Semangat kolektivitas yang semakin tergantikan oleh semangat keakuan melahirkan mentalitas
egois yang bisa menjauhkan orang dari semangat kerja sama tim. Bermain bola butuh penetapan tujuan yang disepakati bersama, cara-cara main agar tujuan itu bisa tercapai, bagi-bagi tugas di antara pemain, disiplin menjaga wilayah, saling mengenal satu sama lain, taat kepada pimpinan, saling bantu terciptanya gol, tak ada yang istimewa karena semua bermain untuk tim. Jadi ada proses ta'aruf (saling mengenal secara mendalam), tafahum (saling memahamai), dan takaful (saling dukung). Di atas semua itu, hukum ditegakkan, sepahit apa pun keputusan wasit, haruslah diterima.
Jadi kapan Indonesia bisa bermain di Piala Dunia? Nanti setelah sistem sosial kita sudah mapan. Ketertiban umum betul-betul terwujud, dan semangat kolektivitas sudah terbentuk serta prilaku korup tak lagi dominan. Nah, kalau untuk jadi juara dunia? Mungkin bisa, tapi satu bulan sebelum kiamat hehe
terjun menyediakan infra struktur dan dana yang amat besar, dan mendatangkan pelatih yang
mumpuni, tapi Afrika ? ya Allah, sesungguhnya kita lebih kaya, lebih maju dan lebih lama mengenal sepakbola.
Seorang teman berseloroh, negara kita tak bisa tampil di pentas dunia karena sampai sekarang belum ada pejabat FIFA yang bisa disuap. Selorohan yang meski terasa pahit tapi cukup membuatku merenung : apa hubungannya suap dengan prestasi sepakbola? aya-aya wae... Tapi nanti dulu. Mungkin ini benar. Coba kita lihat negara-negara Eropa. Nah, di negara-negara yang sistem sosialnya sudah benar-benar mapan, ternyata sepak bolanya rata-rata maju. Sistem sosial yang dimaksud terlihat misalnya pada penghormatan masyarakat akan barang-barang milik publik : kereta api, bus kota, telepon umum, WC umum, atau gedung-gedung yang memang berkaitan dengan kegiatan publik atau digunakan untuk mengurus kepentingan publik, seperti sekolah, rumah sakit, perpustakaan, atau gedung-gedung pemerintahan. Semua itu dijaga sebagai milik bersama. Bagaimana dengan kita?
Rasanya dari sekian banyak telepon umum, hanya satu dua saja yang bisa digunakan. Selebihnya rusak berat. Kereta Api punya nasib yang sama, selain penuh coretan dari para penumpang yang hobi unjuk kreativitas, sebagian isinya hilang entah kemana. Bagaimana dengan WC Umum, wah wah selain tak terurus, baunya menyebar kemana-mana.
Lho, jelek-jelek juga kan negeri sendiri, right or wrong is my country. Betul, betul, betul, karena
cinta pada tanah air itulah kita perlu banyak belajar dari negeri lain. Supaya yang baik-baiknya bisa kita tiru.. Lihatlah taman kota yang ada di sana, orang berkumpul selain mau menikmati keasriannya, juga bisa sambil memberi makan burung-burung merpati, belibis atau angsa liar. Kalau di kita, dijamin burungnya habis ditembaki lalu tamannya berubah fungsi menjadi tempat pembuangan sampah atau dipakai tempat kongkow dan pacaran.
Ketertiban sosial yang menjadi dasar kemapanan sistem sosial sebenarnya merupakan akibat
dari sikap menghormati hukum sebagai perangkat memelihara ketertiban sosial itu. Kalau orang bermobil, jarang ia membunyikan klakson kalau tidak perlu-perlu amat. Pas lampu merah menyala, orang menghentikan mobilnya dan memberi kesempatan kepada penyeberang jalan untuk lewat.
Demikian pula ketertiban dalam hal buang sampah, antrian beli karcis, dan seterusnya, dan lain
sebagainya, semua berjalan dengan baik karena kesadaran warga untuk selalu bersikap
mendahulukan kepentingan sosial dibandingkan kepentingan pribadinya. Ini semua mengisyaratkan bahwa semangat kolektivitas lebih diprioritaskan ketimbang semangat keakuan. Lalu apa hubungannya dengan sepak bola ?
Sesungguhnya sepak bola mencerminkan budaya masyarakatnya. Bagi masyarakat yang ketaatan terhadap hukumnya rendah, arena sepakbola bisa jadi tempat penentangan terhadap wasit, prinsipnya "bola boleh lewat, tapi kaki tidak !" toh kalau dihukum wasit, lalu dilawan, wasitnya sendiri yang malah ketakutan. Jangan heran kalu kemudian pertandingan sepak bola berubah jadi sepak takraw, gabungan permainan tinju dan taekwondo, sesekali malah jadi sirkus, lalu diramaikan dengan aksi penonton lempar-lempar botol. Kalau kesebelasan yang didukungnya kalah bisa jadi pemicu kerusuhan. Keluar dari stadion kemudian merusak ini itu. Inikah mentalitas bangsa kita ? Menonton sepakbola bisa jadi semacam katarsis dari kesumpekan hidup sehari-hari. Bisa teriak, mencaci maki, mengeluarkan unek-unek dan
sumpah serapah. Dan ketika penonton bergerombol, mereka merasa kuat dan karena itu tak takut berbuat anarkis.
Penentuan Ketua Umum PSSI jelas amat jauh dari semangat profesionalisme, malah mungkin bisa masuk Guiness of record karena di dunia kitalah satu-satunya negara yang ketum sepakbolanya bisa mimpin dari balik penjara. Jalinan kepentingan yang ada dari mulai pengda sampai pusat lebih kuat dari semangat memajukan sepak bola nasional. Ada perputaran uang yang lumayan besar yang bisa dibagi-bagi. Ada kepentingan memasukkan orang dekat untuk jadi pemain meskipun tak layak. Ada konspirasi ketika seorang pelatih ditunjuk atau siapa ditempatkan di mana, dan dalam posisi apa. Dunia sepakbola kita persis seperti dunia politik kita : korup, licik, tak profesional, menjunjung tinggi semangat sektarian sampai akhirnya
kepentingan nasional jadi sekedar basa-basi, karena sesungguhnya yang diperjuangkan hanyalah kepentingan pribadi atau kelompok.
Semangat kolektivitas yang semakin tergantikan oleh semangat keakuan melahirkan mentalitas
egois yang bisa menjauhkan orang dari semangat kerja sama tim. Bermain bola butuh penetapan tujuan yang disepakati bersama, cara-cara main agar tujuan itu bisa tercapai, bagi-bagi tugas di antara pemain, disiplin menjaga wilayah, saling mengenal satu sama lain, taat kepada pimpinan, saling bantu terciptanya gol, tak ada yang istimewa karena semua bermain untuk tim. Jadi ada proses ta'aruf (saling mengenal secara mendalam), tafahum (saling memahamai), dan takaful (saling dukung). Di atas semua itu, hukum ditegakkan, sepahit apa pun keputusan wasit, haruslah diterima.
Jadi kapan Indonesia bisa bermain di Piala Dunia? Nanti setelah sistem sosial kita sudah mapan. Ketertiban umum betul-betul terwujud, dan semangat kolektivitas sudah terbentuk serta prilaku korup tak lagi dominan. Nah, kalau untuk jadi juara dunia? Mungkin bisa, tapi satu bulan sebelum kiamat hehe
0 komentar:
Posting Komentar