Penyakit lain yang masih hinggap dalam tubuh umat Islam adalah memisahkan ilmu pengetahuan dari agama. Kalau berbicara ilmu pengetahuan, ya..ilmu pengetahuan ansich, tak ada korelasinya dengan agama. Begitu pun sebaliknya. Agama dan ilmu pengetahuan menjadi dua hal yang terpisah. Sehingga kalau kita mendengar istilah "kaum ulama" yang terbayang dalam benak kita orang berbaju koko, berkopiah atau bersorban, setiap hari membuka kitab, membimbing pengajian di mesjid-mesjid, berjanggut lebat dan bersarung, dengan kesan kaku dan agak jorok serta sangat anti perubahan atau pembaruan. Gambaran yang sesungguhnya disebarkan kaum penjajah sebagai bentuk penghinaan terhadap tokoh perlawanan yang menginginkan kemerdekaan Indonesia yang sebagian besar berasal dari kelompok ulama dan santri. Lain lagi kalau kita mendengar istilah "ilmuwan". Yang terbayang adalah kelompok manusia berbaju putih, melakukan riset di laboratorium-laboratorium, sebagian besar berkacamata tebal, serius, sering menggunakan mikroskop, bahkan kadang suka masuk keluar hutan meneliti ragam flora dan fauna yang ada. Penggambaran yang ada : ulama berumah di langit dan tidak membumi; ilmuwan berumah di bumi dan jarang naik ke langit.
Bahkan dalam banyak realitas sosial sering kita menemukan pernyataan, "dalam hidup ini yang paling utama adalah belajar agama," dan yang dimaksudkannya adalah belajar kitab kuning. "jangan terlalu serius belajar matematika, sebab kalau kamu mati kan tidak ditanya matematika !" sergah seorang ayah kepada anak-anaknya. "bahasa ahli surga itu ya bahasa arab. Bukan bahasa inggris, jerman, mandarin apalagi bahasa tarzan. Belajar bahasa arab yang benar, biar kamu masuk surga !", kata seorang ibu kepada anaknya yang selalu cas cis cus praktik ngomong inggris... Jadi kalau ada orang bicara ayat Qur'an, hadits, fiqh, kitab-kitab kuning, tasawuf, akhlak, dinilai berbicara agama. Tetapi kalau ada yang bicara gunung meletus, rusaknya hutan dan timbulnya banjir, astronomi, biologi, penyakit dan lain sebaginya, dianggap bicara ilmu pengetahuan. Seolah-olah matematika, fisika, biologi, metalurgi, arsitektur, ekologi dan seterusnya tak ada kaitannya dengan agama. Sains dan agama bertetangga tapi tak saling bertegur sapa. Sekendaraan tapi tak mau saling berkenalan.
Nah, kalau kita merenung mencoba mencari jawaban kenapa kekeliruan berfikir ini terjadi sebenarnya dapat ditelusuri pada sikap sebagian umat Islam terhadap Al-Qur'an. Lha... bagaimana sikap mereka terhadap kitab sucinya ? Ada orang yang memandang Al-Qur'an sebagai kitab mistik, mantera penuh keajaiban, bisa digunakan untuk ilmu pelet biar perempuan yang diimpikan bisa bertekuk lutut, atau jadi ajian ilmu wedug biar tak mempan sejata tajam, dst, dsb... Ada juga yang memosisikan Al-Qur'an hanya sebagai kitab suci pelengkap legalitas formal suatu jabatan. Kalau mau diangkat jadi pejabat, sumpahnya kan pakai Al-Qur'an, diletakkan di pinggir kepala sejajar dengan telinga (hehehe jadi bukan di depan ya..). Banyak juga yang sekedar membaca, itu pun khusus tiap malam jum'at. Lebih banyak lagi yang tidak bisa membacanya, apalagi yang mengerti terjemahannya dan memahami tafsirnya. Jadi sampai sejauh mana tingkat kedekatan umat Islam terhadap Al-Qur'an, perhatikan saja bagaimana mereka memperlakukan kitab sucinya.
Sesungguhnya Al-Qur'an itu kitab suci yang bisa menjadi sumber inspirasi, motivasi, informasi serta petunjuk bagaimana manusia menata hidup dan kehidupannya. Ayat-ayat yang ada di dalamnya bisa kita reduksi menjadi dua bagian besar, yaitu :
1. Ayat-ayat kauniyah atau khalqiyyah : berisi informasi, aktual, tajam dan terpercaya, (sori banget minjam slogan salah satu TV swasta) mengenai proses penciptaan dan berbagai macam fenomena alam. Jumlah ayatnya jauh lebih banyak ketimbang ayat-ayat mengenai perintah ibadah.
2. Ayat-ayat khuluqiyyah : berisi informasi mengenai bagaimana hidup dan kehidupan ini harus dijalankan. Di dalamnya ada perintah shalat, zhaum, zakat, hajji, kerumahtanggaan, halal-haram, kegiatan ekonomi dan sosial budaya manusia. Jumlah ayatnya jauh lebih sedikit dibanding yang pertama (1)
Wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada Rasulullah adalah surat Al-'alaq, diawali dengan perintah membaca. Tapi karena obyek yang harus dibacanya tak disebutkan, maka para ahli tafsir menyimpulkan bahwa yang harus dibaca itu adalah segala sesuatu. Nah, dalam kaitan membaca ini Al-Qur'an memerintahkan kita untuk memahami :
a. ayat-ayat Allah yang difirmankan, yaitu Al-Qur'an. Sering juga disebut dengan "buku kecil"
b. ayat-ayat Allah yang diciptakan, yaitu alam semesta. Kadang diistilahkan "buku besar"
c. ayat-ayat Allah yang tampak pada sejarah umat manusia. Al-Qur'an banyak sekali mengin formasikan eksistensi, perkembangan dan kematian kehidupan bangsa-bangsa.
Kita disuruh menggunakan semua potensi yang kita miliki berupa pendengaran, penglihatan dan fikiran agar kita semua mensyukurinya (QS an-Nahlu : 78), artinya : menggunakan semua potensi yang ada itu guna meningkatkan kualitas kemanusiaan kita sehingga kita bisa menyadari asal usul diri kita, tugas dan tujuan keberadaan kita di dunia serta akhir dari seluruh perjalanan yang kita tempuh. Menyadari siapa diri kita dan siapa sebenarnya Tuhan kita.
Umat Islam terdahulu merespon perintah membaca ini dengan terus melakukan kajian terhadap alam. Ditelitilah bebagai gejala yang ada, dikaji pula proses penciptaannya, dan dari hasil kajian dan penelitian itu berkembanglah ragam disiplin ilmu-ilmu kealaman. Contohnya : Ar-Razi adalah orang pertama yang meneliti penyakit cacar dan berpendapat bahwa orang yang sudah terkena penyakit ini akan memiliki imunitas untuk tidak terkena penyakit yang sama. Al-Khawarizmi adalah orang yang menemukan angka arab (angka yang kita gunakan sekarang); memperkenalkan pecahan desimal dan berbagai macam metode perhitungan. Demikian pula Ibn Nafis, orang pertama yang menemukan sistem peredaran darah dalam tubuh manusia. Dan berbagai macam penemuan lainnya : metode anestesi, alat fotografi, mikroskop kaca mata, jam, dan masih banyak yang lainnya (maaf, tak bisa disebutkan semuanya). Pertanyaannya : mengapa mereka berhasil mengembangkan kemajuan dalam bidang sains? Ya karena mereka melaksanakan perintah-perintah Al-Qur'an; mau membaca dengan cermat ayat-ayat kauniyah; berusaha memahami ragam fenomena alam, dan dengan memahami keindahan alam ini mereka pun menyadari keagungan penciptanya.
Sekedar contoh lain : jika Allah banyak menginformasikan kejadian alam, selalu diakhiri dengan kalimat sindiran "tidakkah kalian mau berfikir", "tidakkah kalian mencermati", "tidakkah kalian mau melihat?", bahkan seburuk-buruknya manusia adalah mereka yang tidak mau berfikir (ogah menggunakan penglihatan, pendengaran dan karena itu disebut buta dan tuli). Lebih lanjut malah dikatakan bahwa neraka jahanam akan dipenuhi jin dan manusia yang punya fikiran tetapi tidak digunakan untuk memahami, punya mata tapi tak melihat, dan
punya telinga tapi tak mendengar (QS al-A'raf : 179). Nah, orang-orang yang bebal seperti ini derajatnya lebih hina dari binatang.
Dengan demikian, menjauhkan sains dari agama adalah pengkhianatan terhadap Allah. Memisahkan agama dari semangat ilmu pengetahuan sama dengan menentang maksud-maksud baik Allah dalam menciptakan alam raya ini. Karena itu, mari kita kaji dan kembangkan sains sebagai bagian dari upaya meningkatkan iman dan takwa kita kepada-Nya. Sehingga sains merupakan bagian dari agama, terikat dengannya, dan bahkan
bisa digunakan untuk membuktikan kebenaran agama (Islam) itu. Kesimpulannya : menjauhkan agama dari ilmu pengetahuan adalah sangat tidak islami. Bagaimana mungkin kita melakukan pekerjaan maha besar : islamisasi ilmu pengetahuan jika kita bersikap memisahkan keduanya. Masih penasaran ? alhamdulillah... kita ketemu lagi di artikel lain, insya Allah....
0 komentar:
Posting Komentar