Urgensi memahami Dua Kalimah Syahadat

Jumat, 05 Maret 2010

Lanjutan : Tauhid sebagai sebuah metode integrasi...
Malu juga nih  baru bisa postingan lagi. Dua minggu kemarin kegiatan cukup menyita waktu, terutama memasuki bulan Rabi'ul awal atau maulud, maklum saja di bulan ini undangan pernikahan lumayan banyak, begitu juga permintaan ceramah. Rupanya bulan-bulan muharam, rabiul awal, rajab dan syawal menjadi waktu-waktu favorit  untuk menikah, puncaknya ya bulan ini, bulan maulud, bulan di mana sebagian besar umat Islam juga merayakan maulid Nabi dengan mengadakan berbagai kegiatan. Terlepas dari kontroversi peringatan maulid itu bid'ah atau bukan, bagiku, yang penting adalah adanya kesempatan luas untuk ber dakwah, mengajak saudara-saudaraku mengenal kembali sejarah perjuangan Nabinya
 melakukan muhasabah terhadap diri sendiri apakah sudah mengikuti dan setia kepada sunnahnya atau malah lebih tunduk pada berbagai macam ajakan yang bersumber dari nafsu sendiri. Jujur saja, kadang aku merasa sangat malu mengetahui banyak perbuatanku yang tidak sejalan dengan sunnahnya, padahal Goethe saja,  sastrawan jerman yang bukan muslim pernah memuji beliau dengan menulis puisi, "banyak lampu di tengah kota, tetapi matahari hanya satu, mengalahkan cahaya segalanya", duh duh mikir dong, malu dong...
      Nah, karena itulah perbincangan kita dalam seri kajian tauhid sebagai sumber sukses dunia akhirat kita kali ini adalah "urgensi memahami dua kalimah syahadah" : asyhadu an laa ilaaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammadan rasulallah. Kalimatnya cukup pendek, kan. Tapi justru dari yang pendek ini kita bisa menakar semua aktivitas hidup yang kita jalankan dengan ukuran-ukuran yang pasti, absolut, tidak berubah, tak lekang kena panas dan tak lapuk kena hujan. Zaman boleh berubah dengan segala dinamika sosial yang terjadi di dalamnya. Tetapi mana hak dan mana bathil, dan mana yang benar dan mana yang salah tak pernah akan berubah. Karena di situlah hakekat hidup adanya. Buat apa kita hidup, melakukan ragam aktivitas, punya jabatan atau harta yang melimpah, kalau bukan untuk menunjukkan kesetiaan kita pada kebenaran. Memang berat, amat berat, tetapi  hidup kita yang sekali ini dijalani merupakan modal meraih kebahagiaan sejati. Apalagi dalam dalam suasana hidup yang kian sekuler yang dalam bahasa teman saya "bil fulus kulluhu lulus, wa bighaeri fulus kulluhu mampus" : ada uang segala sesuatu bisa lancar, tak ada uang segala sesuatu jadi macet (sori banget, ini bahasa arab gaul ya..). Atau dalam sindiran lain, "ada uang abangku sayang, tak ada uang abang ditendang!" walau akhirnya, seperti beatles berujar, "money can't
buy me love". Justru gara-gara uang itulah suasana perpolitikan di tanah air kita tercinta jadi seperti api dalam sekam  weleh weleh weleh
      Dua kalimah syahadat ini merupakan satu kesatuan, tak bisa dipisahkan persis seperti dua sisi dari sebuah mata uang. Bagian pertama dari syahadat ini, "asyhadu an laa ilaaha illa Allah"  disebut Syahadat uluhiyah, berisi pengakuan akan Allah sebagai satu-satunya ilaah. Dia adalah sumber gerak  dari semua motivasi yang ada dalam diri kita. Dia adalah rabb yang menciptakan, memelihara, menguasai dan satu-satunya pemilik alam ini. Dia adalah tujuan dari semua manusia. Konsekuensi syahadat pertama ini adalah lahirnya 'al-walaa'  dan  'al-baraa'  dalam  realitas kehidupan yang kita jalani. 'Al-walaa'  adalah monoloyalitas atau kesetiaan tunggal kita kepada-Nya. Sedangkan 'al-baraa' adalah sikap penolakan kita terhadap segala sesuatu yang bertentangan dengan Ajaran, sistem hidup atau kehendak-Nya. Yang pertama berisi sikap penerimaan penuh keikhlasan akan ketentuan-ketentuan Allah. Yang kedua berisi penolakan terhadap segala sesuatu yang tidak sejalan dengan aturan-Nya. Jadi seorang muslim adalah orang yang hanya beribadah kepada-Nya saja, dibarengi dengan penolakan menghambakan diri pada  segala sesuatu selain Dia.
      Dalam realitas kehidupan, al walaa dan al baraa ini seharusnya menjadi hiasan akhlak seorang muslim. Dia menjadi pribadi yang hanya beriman kepada Allah, dan menentang segala bentuk thagut (thagut berasal dari kata thaga yang artinya bengkok, persis toge, membelokkan manusia dari jalan yang haq). Dia adalah orang yang  selalu mengajak kepada  kebenaran dan kebaikan, dan berupaya mencegah segala macam kemunkaran. Menjadi pribadi hangat dan santun kepada sesama muslim, tetapi menentang keras segala pandangan hidup orang kafir yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Pribadi yang rajin bekerja, serius dan amanah dalam menjalankan tugas, tetapi juga menentang segala bentuk korupsi, manipulasi dan aji mumpung. Pendek kata, konsep al-walaa dan al-bara ini akan membentuk pribadi yang ikhlas, santun, penuh cinta kasih, pemaaf, menghargai kebenaran. Tegasnya, pribadi yang berkarakter positif, dan sikap ini diikuti dengan ketidaksukaan kepada hal-hal yang negatif. Cinta kepada yang serba positif adalah gambaran al-wala, dan membenci dan menolak yang serba negatif adalah gambaran al-bara. Yang pertama adalah manifestasi penerimaan, dan yang kedua adalah manifestasi penolakan.
     Syahadat kedua biasa disebut Syahadat Nabawiyah, yaitu pernyataan kesediaan dan kesetiaan kita kepada Rasulullah sebagai bagian pokok dan tak terpisahkan dari sikap monoloyalitas kita kepada Allah. Inti dari syahadat kedua ini adalah bahwa tindak atau aktivitas ibadah kepada Allah yang kita lakukan tidak mungkin bisa dijalankan tanpa bimbingan beliau. Tugas utama beliau adalah bagaimana keimanan akan Allah itu diimplementasikan dalam bentuk kebudayaan yang mencakup sistem sosial, sistem perekonomian, peralatan hidup, ilmu pengetahuan, bahasa, seni dan hukum. Jadi beliau diutus ke dunia ini untuk merubah keimanan kita kepada Allah menjadi sebuah tatanan hidup yang nyata. Karena itu, semua hal yang dinisbatkan kepada beliau baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan atau keadaan yang sering disebut As-sunnah merupakan penjabaran dari syahadat uluhiyah itu. Tanpa sunnah, kita tak akan pernah tahu bagaimana melaksanakan perintah-perintah Al-Qur'an. Contoh sederhana misalnya shalat. Al-Qur'an memerintahkan kita mengerjakannya, tetapi bagimana praktiknya, kaifiatnya dan apa yang harus dibaca di dalamnya, tak akan kita temukan dalam Al-Qur'an tetapi kita mendapatkannya dalam As-Sunnah. Kita diperintah mengeluarkan
zakat. Apa saja jenis harta yang harus dizakati dan berapa takaran atau ukurannya tak akan ditemukan dalam Al-Qur'an, tetapi kita menemukannya dalam As-Sunnah. Jadi Al-Qur'an dengan As-Sunnah seperti gula dengan manisnya. Ikan dengan airnya. Keduanya tak terpisahkan. Hubungan keduanya saling melengkapi dimana Al-Qur'an bersifat global dan Assunnah sebagai rinciannya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 

lihat iklan, dapat duit !

 
Copyright © Sukses Dunia-Akhirat | Using Amoebaneo Theme | Bloggerized by Themescook | Redesign by Kang eNeS
Home | TOP