Bahan kajian kita dalam seri Rahasia Sukses kali ini berkaitan dengan "tauhid", sebuah istilah yang sebenar nya amat populer di kalangan umat Islam. Tetapi sayang tauhid yang dirumuskan secara singkat dalam kalimah "Laa ilaaha illa Allah" itu jarang sekali dibahas. Mayoritas umat Islam lebih senang mengaji fiqh ibadah
Bahkan semua kitab fiqh yang jadi rujukan di semua pesantren ketika membahas ibadah itu pastilah diawali dengan bab mengenai bersuci, dan awal pembahasannya berkaitan dengan air. Tetapi mengapa mereka kurang mau memperhatikan kebersihan? Nah, di sinilah letak kekeliruannya : membahas ibadah tanpa dikaitkan dengan tauhid akan melahirkan pemahaman yang kering. Orang yang terlalu berorientasi pada fiqh sering kali menjadi orang
yang kaku, dan ketika dihadapkan kepada perbedaan pendapat, sikapnya cenderung menolak dan beranggapan bahwa pendapatnya merupakan kebenaran final. Lihatlah kondisi umat Islam sekarang. Menghadapi serbuan globalisasi sebagai sebuah bentuk kolonialisasi baru, banyak yang adem ayem saja. Undang-undang pornografi yang sampai saat ini belum ditandatangani presiden? mana sempaaaat difikirkan. Munculnya gerakan pemurtadan lewat penguasaan sendi-sendi ekonomi bangsa? wah itu sih terlampau jauh. Tetapi menghadapi perbedaan pendapat dalam masalah-masalah kecil, duh bisa rame tuh.. Banyak kan yang bermusuhan karena yang satu pakai ushali yang lain tidak. Banyak pula yang saling menjelekkan karena ber
beda rakaat tarawih di mana yang satu 11 rakaat dan yang lain 23 rakaat. Berbeda partai politik? Itu mah ngajak perang namanya. Persaudaraan pun bisa rusak dibuatnya. Pilu rasanya hatiku ini...
Mengapa memahami tauhid demikian penting? Ibarat tukang jahit, melalui tauhidlah pola pakaian dibuat. Salah motong pakaian dari mau bikin celana pendek malah jadi cangcut, ya.. gak apa-apa. Mau bikin jas eh malah jadi rompi, ya sabarlah dikit... Tapi salah motong keyakinan. Tauhidnya tak lurus ? Duh bisa celaka dunia akhirat. Orang jadi percaya tahayul : malam jum'at kliwon adalah malam menyebarnya pasukan syetan, jin, gendruwo, leak,
kuntilanak, sundelbolong plus jurig jarian. Yang lain percaya ramalan-ramalan bintang. Sampai-sampai kalau mau melakukan sesuatu harus lihat dulu apa kata bintangnya. Yang sagitarius (sayang giginya tak terurus) : jangan makan nasi dengan lontong, kata mbah dukun, sebab itu sih rakus dan boros hehehe.. Banyak juga yang percaya angka-angka. Ada yang takut angka 4 sebab artinya mati. Angka 13, artinya sial, dan ada juga yang memuja angka 9. Maka kemudian jadi dukun atau paranormal dalam zaman modern seperti sekarang bisa merupakan profesi yang amat menjanjikan. Manusia merendahkan dirinya sedemikian rupa sampai akhirnya derajat mereka lebih rendah dari makhluk lainnya. Kasian bangeettt !
Kalimah tauhid, "laa ilaaha illa Allah", sesungguhnya merupakan sari pati ajaran Islam.
Islam yang syumul atau integral dan mengatur semua segi dan bidang kehidupan manusia itu dirumuskan secara pendek "tiada Ilah selain Allah". Ilaahun dalam bahasa Arab memiliki banyak makna : yang disembah, dicintai, ditaati, dijadikan tujuan, digandrungi, sandaran hidup atau sumber gerak. Bagaimana kalau untuk meraih suatu jabatan orang melakukan apa saja, tak perduli halal haram, tak mau tengok kanan kiri? Bisa-bisa ilahnya bukan Allah tapi jabatan. Bagaimana kalau ada yang ingin meraih kekayaan dengan cara-cara yang tidak benar : korupsi, menipu, memfitnah, menyuap, pokoknya uang bisa didapatkan? bisa jadi ilahnya uang, bukan Allah... Sehingga ketika seseorang mengucapkan sesunguhnya ia telah melakukan :
a. pernyataan sikap (deklarasi diri) bahwa ia adalah hamba Allah. Bukan hamba duit, jabatan, kekayaan, popularitas atau sekedar kesenangan fisik yang serba instan,
b. berjanji untuk setia kepada Allah dalam kondisi dan situasi kehidupan apapun dan bagaimanapun,
c. bersumpah setia bahwa loyalitas hidupnya yang paling tinggi hanyalah untuk Allah. Baru kemudian ke hal-hal lain, itupun selama tidak bertentangan dengan kehendak-Nya.
Dengan demikian, "laa ilaaha illa Allah" tidak sekedar ucapan yang mengakui Allah sebagai satu-satunya ilah melainkan sebagai ikrar agung dan suci bahwa segala ketaatan, ketundukan dan kepasrahan kita hanyalah kepada Allah. Dengan tauhid, manusia menjadi makhluk merdeka. Tidak diperbudak hawa nafsu. Tidak akan merendahkan diri menyembah binatang, pepohonan, bebatuan dan berbagai kekuatan gaib (sebab semua itu adalah ciptaan-Nya). Tidak akan mempertuhankan manusia setinggi apapun kekuasannya. Tujuan hidupnya menjadi jelas. Dan arah yang ditempuhnya terang benderang.
Karena konsekuensi dari kalimah "laa ilaaha illa Allah" seperti itu, orang-orang kafir Quraisy menolaknya. Bukan karena tak faham melainkan karena khawatir kekuasaan istimewa mereka akan hilang, dan kalau itu terjadi, niscaya hilanglah kesempatan meraih kekayaan sebanyak-banyaknya, hilang pula kendali mereka atas masyarakatnya. Tak enak hidup jauh dari kekuasaan dan kemewahan. Menderita rasanya kalau harus duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan orang-orang yang tidak selevel, para budak atau hamba sahaya
yang sering mereka nistakan dan dianggap tidak punya harga apa-apa. Mengapa bisa begitu?
Dalam konteks sosial, kalimah suci ini memiliki beberapa konsekuensi yang sangat tidak sejalan dengan kepentingan-kepentingan mereka, yaitu :
a. mengakui Allah sebagai satu-satunya ilah berarti mengakui bahwa semua manusia adalah makhluk-Nya,
b. dalam kedudukan mereka sebagai makhluk, setiap orang memiliki derajat yang sama. Tak ada perbedaan orang berkulit putih dari yang berkulit hitam. Orang arab dari orang asing. Yang kaya dari yang miskin. Penguasa dari rakyat jelata. Meski sebagai pribadi, tentulah seseorang bisa berbeda dari orang lain.
Melalui kalimah ini, terwujudlah persatuan dan kesatuan umat manusia. Dikenallah faham egaliterian. Semua manusia adalah bersaudara. Dan ketika masyarakat muslim bisa saling
menyintai dan menyantuni satu sama lain, perbudakan di Romawi, Persia dan negeri-negeri lainnya masih terjadi, bahkan sampai saat ini! Kaum kolonial melalui perguruan-perguruan tinggi mereka menugaskan para profesornya menulis dan menyimpulkan bahwa ukuran otak orang negro lebih kecil ketimbang orang barat (tanpa bukti ilmiah apapun) hanya untuk
mencari-cari alasan bahwa tindakan penjajahan adalah untuk memanusiakan masyarakat pribumi ! Wuih kurang ajar bener... Kesimpulannya : keyakinan tauhid akan melahirkan kesatuan dan persatuan umat manusia. Sedangkan syirik dalam keyakinan akan melahirkan syirik dalam bermasyarakat di mana tiap orang dianggap tidak sederjaat, dan karena itu harus dibuat skat dalam wujud kelas-kelas sosial atau kasta.
Bahkan semua kitab fiqh yang jadi rujukan di semua pesantren ketika membahas ibadah itu pastilah diawali dengan bab mengenai bersuci, dan awal pembahasannya berkaitan dengan air. Tetapi mengapa mereka kurang mau memperhatikan kebersihan? Nah, di sinilah letak kekeliruannya : membahas ibadah tanpa dikaitkan dengan tauhid akan melahirkan pemahaman yang kering. Orang yang terlalu berorientasi pada fiqh sering kali menjadi orang
yang kaku, dan ketika dihadapkan kepada perbedaan pendapat, sikapnya cenderung menolak dan beranggapan bahwa pendapatnya merupakan kebenaran final. Lihatlah kondisi umat Islam sekarang. Menghadapi serbuan globalisasi sebagai sebuah bentuk kolonialisasi baru, banyak yang adem ayem saja. Undang-undang pornografi yang sampai saat ini belum ditandatangani presiden? mana sempaaaat difikirkan. Munculnya gerakan pemurtadan lewat penguasaan sendi-sendi ekonomi bangsa? wah itu sih terlampau jauh. Tetapi menghadapi perbedaan pendapat dalam masalah-masalah kecil, duh bisa rame tuh.. Banyak kan yang bermusuhan karena yang satu pakai ushali yang lain tidak. Banyak pula yang saling menjelekkan karena ber
beda rakaat tarawih di mana yang satu 11 rakaat dan yang lain 23 rakaat. Berbeda partai politik? Itu mah ngajak perang namanya. Persaudaraan pun bisa rusak dibuatnya. Pilu rasanya hatiku ini...
Mengapa memahami tauhid demikian penting? Ibarat tukang jahit, melalui tauhidlah pola pakaian dibuat. Salah motong pakaian dari mau bikin celana pendek malah jadi cangcut, ya.. gak apa-apa. Mau bikin jas eh malah jadi rompi, ya sabarlah dikit... Tapi salah motong keyakinan. Tauhidnya tak lurus ? Duh bisa celaka dunia akhirat. Orang jadi percaya tahayul : malam jum'at kliwon adalah malam menyebarnya pasukan syetan, jin, gendruwo, leak,
kuntilanak, sundelbolong plus jurig jarian. Yang lain percaya ramalan-ramalan bintang. Sampai-sampai kalau mau melakukan sesuatu harus lihat dulu apa kata bintangnya. Yang sagitarius (sayang giginya tak terurus) : jangan makan nasi dengan lontong, kata mbah dukun, sebab itu sih rakus dan boros hehehe.. Banyak juga yang percaya angka-angka. Ada yang takut angka 4 sebab artinya mati. Angka 13, artinya sial, dan ada juga yang memuja angka 9. Maka kemudian jadi dukun atau paranormal dalam zaman modern seperti sekarang bisa merupakan profesi yang amat menjanjikan. Manusia merendahkan dirinya sedemikian rupa sampai akhirnya derajat mereka lebih rendah dari makhluk lainnya. Kasian bangeettt !
Kalimah tauhid, "laa ilaaha illa Allah", sesungguhnya merupakan sari pati ajaran Islam.
Islam yang syumul atau integral dan mengatur semua segi dan bidang kehidupan manusia itu dirumuskan secara pendek "tiada Ilah selain Allah". Ilaahun dalam bahasa Arab memiliki banyak makna : yang disembah, dicintai, ditaati, dijadikan tujuan, digandrungi, sandaran hidup atau sumber gerak. Bagaimana kalau untuk meraih suatu jabatan orang melakukan apa saja, tak perduli halal haram, tak mau tengok kanan kiri? Bisa-bisa ilahnya bukan Allah tapi jabatan. Bagaimana kalau ada yang ingin meraih kekayaan dengan cara-cara yang tidak benar : korupsi, menipu, memfitnah, menyuap, pokoknya uang bisa didapatkan? bisa jadi ilahnya uang, bukan Allah... Sehingga ketika seseorang mengucapkan sesunguhnya ia telah melakukan :
a. pernyataan sikap (deklarasi diri) bahwa ia adalah hamba Allah. Bukan hamba duit, jabatan, kekayaan, popularitas atau sekedar kesenangan fisik yang serba instan,
b. berjanji untuk setia kepada Allah dalam kondisi dan situasi kehidupan apapun dan bagaimanapun,
c. bersumpah setia bahwa loyalitas hidupnya yang paling tinggi hanyalah untuk Allah. Baru kemudian ke hal-hal lain, itupun selama tidak bertentangan dengan kehendak-Nya.
Dengan demikian, "laa ilaaha illa Allah" tidak sekedar ucapan yang mengakui Allah sebagai satu-satunya ilah melainkan sebagai ikrar agung dan suci bahwa segala ketaatan, ketundukan dan kepasrahan kita hanyalah kepada Allah. Dengan tauhid, manusia menjadi makhluk merdeka. Tidak diperbudak hawa nafsu. Tidak akan merendahkan diri menyembah binatang, pepohonan, bebatuan dan berbagai kekuatan gaib (sebab semua itu adalah ciptaan-Nya). Tidak akan mempertuhankan manusia setinggi apapun kekuasannya. Tujuan hidupnya menjadi jelas. Dan arah yang ditempuhnya terang benderang.
Karena konsekuensi dari kalimah "laa ilaaha illa Allah" seperti itu, orang-orang kafir Quraisy menolaknya. Bukan karena tak faham melainkan karena khawatir kekuasaan istimewa mereka akan hilang, dan kalau itu terjadi, niscaya hilanglah kesempatan meraih kekayaan sebanyak-banyaknya, hilang pula kendali mereka atas masyarakatnya. Tak enak hidup jauh dari kekuasaan dan kemewahan. Menderita rasanya kalau harus duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan orang-orang yang tidak selevel, para budak atau hamba sahaya
yang sering mereka nistakan dan dianggap tidak punya harga apa-apa. Mengapa bisa begitu?
Dalam konteks sosial, kalimah suci ini memiliki beberapa konsekuensi yang sangat tidak sejalan dengan kepentingan-kepentingan mereka, yaitu :
a. mengakui Allah sebagai satu-satunya ilah berarti mengakui bahwa semua manusia adalah makhluk-Nya,
b. dalam kedudukan mereka sebagai makhluk, setiap orang memiliki derajat yang sama. Tak ada perbedaan orang berkulit putih dari yang berkulit hitam. Orang arab dari orang asing. Yang kaya dari yang miskin. Penguasa dari rakyat jelata. Meski sebagai pribadi, tentulah seseorang bisa berbeda dari orang lain.
Melalui kalimah ini, terwujudlah persatuan dan kesatuan umat manusia. Dikenallah faham egaliterian. Semua manusia adalah bersaudara. Dan ketika masyarakat muslim bisa saling
menyintai dan menyantuni satu sama lain, perbudakan di Romawi, Persia dan negeri-negeri lainnya masih terjadi, bahkan sampai saat ini! Kaum kolonial melalui perguruan-perguruan tinggi mereka menugaskan para profesornya menulis dan menyimpulkan bahwa ukuran otak orang negro lebih kecil ketimbang orang barat (tanpa bukti ilmiah apapun) hanya untuk
mencari-cari alasan bahwa tindakan penjajahan adalah untuk memanusiakan masyarakat pribumi ! Wuih kurang ajar bener... Kesimpulannya : keyakinan tauhid akan melahirkan kesatuan dan persatuan umat manusia. Sedangkan syirik dalam keyakinan akan melahirkan syirik dalam bermasyarakat di mana tiap orang dianggap tidak sederjaat, dan karena itu harus dibuat skat dalam wujud kelas-kelas sosial atau kasta.
0 komentar:
Posting Komentar